Jadi ibu, bikin mudah baper

Semenjak menyandang status ibu, saya pribadi jadi mudah baper (bawa perasaan). Apa-apa dibawa perasaan, jadi sedikit lebih sensitif dan lebih gampang mewek (yeahh rite).

Awalnya, tiap lihat sosial media selalu baper. Karena sindir sana sindir sini, berita hoax ada dimana-mana. Lantas lama kelamaan, lihat video viral menyentuh sedikit langsung mewek. Lihat berita ibu yang ngebunuh anaknya juga sedih.

Sekarang, lihat berita-berita soal kekerasan malah tambah khawatir "Akan seperti apa lingkungan dan alam yang membesarkan anak saya nanti?"

Gimana enggak khawatir, fenomena atau gejala yang terjadi sekarang bisa jadi kenyataan dibeberapa tahun yang akan datang. Entah saya yang terlalu banyak melihat berita jelek atau memang kondisinya seperti itu.

Hoax, predator anak, kekerasan pada anak bahkan sampai anak kuliah, anak yang mukulin guru, kata-kata kasar yang diucapkan bocah kecil, bikin saya khawatir, apa yang harus saya lakukan, apa yang bisa saya lakukan supaya anak saya bisa memilah dan memilih mana yang baik. Tindakan apa yang bisa saya lakukan agar anak saya terhindar dari jenis kekerasan senior-junior karena tidak mungkin saya membatasi gerak dia untuk berorganisasi dan bersosialisasi.


Huhuhuhu. Tiap malam jadi kepikiran dan akhirnya buka diskusi sama suami dan ternyata kami punya kekhawatiran yang sama. Bagaimana kami harus membangun bocah kecil ini jadi pribadi yang kuat (hati, pikiran dan fisik) dan bijak.


Ada beberapa solusi yang kami hasilkan. Salah satuya, anak tidak dituduh pada setiap 'kesalahan' yang dilakukannya. Bisa saja, yang dianggap orang tua salah itu ternyata punya alasan bijak dan besar. Jadi, saya berusaha meyakinkan dan mengingatkan diri (salah satunya dengan tulisan ini) agar menjadi ibu yang memanfaatkan kupingnya jauh lebih banyak dibanding mulutnya. Nah, tapi dengan begini, saya juga kudu siap hati kalau dikritik si anak. Jangan panas kuping ketika diprotes anak karena satu dan lain hal.


Dengan begini, saya juga berharap bahwa anak saya kelak akan lebih memilih untuk cerita ke saya terlebih dahulu kalau ada apa-apa. Bahkan hal terburuk tanpa harus takut akan dihakimi atau dimarahin.


No, saya juga ga menutup kemungkinan untuk marah karena tidak semua hal itu bisa didiskusikan. Tapi setidaknya, anaknya tahu kalau untuk hal lainnya, dia punya ibunya untuk tempat curhat atau diskusi atau sekedar nanya hal random atau yang serius sekalipun. Dia punya ayahnya untuk cerita atau ngajak debat .


Well, ini jadi pengingat saya dengan harapan saya bisa menjalaninya sesuai keinginan atau minimal km msh berada di track yang sejalan dengan penyesuaian di kanan kiri. Karena mendidik anak itu tidak ada text booknya.


Selamat berjuang deny. Selamat berjuang Ayah. Selamat berjuang ibu dan ayah sedunia.
Salam rimba. Kita semua bisa. Kita semua kuat

Komentar

Postingan Populer