Bagaimana memilih suami/istri (?)

Bagaimana bisa memilih suami/istri? (Well, actually, this post is dedicated to my husband. Permintaan yang Mulia Tuan Raja soalnya :))

Ini pertanyaan yang sangat subjektif. Jawaban tentunya akan berbeda bagi masing-masing orang. Tapi saya rasa, ada satu atau lebih garis dasar dan benang merah dari kesubjektifan masing-masing individu tersebut.

Menurut saya, memilih suami itu gampang-gampang susah atau susah-susah gampang. Pengalaman saya, yang cuma macarin suami dan akhirnya menikah, cari suami itu susah-susah gampang. Saya merasa susah, padahal gampang dan ada didepan mata.

Hal pertama yang menjadi tolak ukur saya mencari suami adalah kemampuan berkomunikasi satu sama lain. Berkomunikasi itu bukan hanya soal mendengar saja tapi juga mengerti dan memahami maksud masing-masing pasangan.

Ini penting. Bahkan sangat penting. Karena ibu kita saja yang sudah mengenal kita bahkan sejak dalam perut pun belum 100 persen mengenali kita. Apalagi, istilahnya, orang asing yang baru bertemu beberapa tahun atau bahkan beberapa bulan saja.

Saya rasa kalau komunikasi sudah dibangun dengan baik, kalau ada masalah, ada yang mengganjal, ada yang kurang enak bisa disampaikan dengan baik. Istilahnya, kalau berantem bukan sekedar berantem adu tinggi nada suara. Tapi menyampaikan dan mengerti apa keinginan masing-masing. Setelah itu, bisa dicari jalan keluarnya. Ya lagi-lagi butuh komunikasi.

Klise, easy to say hard to do. Memang, tapi ini bisa diusahakan dan dibangun sejak awal. Sering berbagi, sharing, ngobrol ngalor ngidul mulai dari hal penting sampai remeh temeh memilih shampoo.

Bahkan komunikasi sangat diperlukan saat pembagian tugas domestik alias pekerjaan rumah tangga. Ada beberapa pria yang enggan mengerjakan pekerjaan domestik, tapi ada juga pria yang tidak sungkan mengepel, menyapu dan bersih-bersih karena dia tidak bisa melakukan hal lain seperti memasak dan menyetrika.

Pembagian pekerjaan ini pun jadi lebih ringan kalau bisa dikomunikasikan dengan baik.
Selain komunikasi, apakah kalian sudah memastikan dalam hati bahwa kalau ada kebiasaan buruk pasangan, kita mampu dan mau menerimanya. Terutama kebiasaan yang tidak terlihat saat pendekatan atau pacaran. Kebiasaan yang memang hanya bisa terlihat setelah masing-masing nyaman satu sama lain.

Saya sejujurnya tidak tahan dengan perokok. Tapi, suami saya perokok. Jalan tengahnya ya dia bisa merokok asal tidak didekat saya dan merokok dilakukan diluar rumah. 

Ya kalau sekedar ngeces, ngiler, hobi ngentut atau ngorok saat tidur sih menurut saya wajar (mehhh)..
Faktor lainnya menurut saya adalah supportive. Pasangan akan mendukung agar pasangannya berkembang, baik dari segi karir maupun secara individu. Perkembangan secara individu ini kan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, belajar bahasa baru. Belajar dunia baru. Atau mungkin belajar masak atau jahit.

Kalau masing-masing pasangan mendukung pasangannya berkembang didunia karir, dia tahu dong konsekuensinya. Misal, sang istri ingin mengejar karir sebaik mungkin, suami bisa mendukung dengan memberikan restu serta berbagi pekerjaan domestik. Pria yang bisa masak itu sekarang pu ya tingkat keseksian yang jauh lebih tinggi loh. Ini cuma contoh dan perumpamaan.

Setelah faktor-faktor itu didapat, ada baiknya meminta restu pada orang tua terutama ibu. Ibu itu biasanya punya naluri yang lebih tajam. Jika restu sudah didapat, insya allah perjalanan ke depannya akan lebih mudah (lebih mudah belum tentu tanpa halangan aral rintang loh).

Selamat hunting #ehhh

Jangan lupa minta restu orang tua :))
-deny, 27 tahun, suaminya lagi romantis dan mellow-

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer